Puisi Monolog #Referensi

*Data buku kumpulan puisi*Judul : Monolog AnginPenulis : *Bagus Burham*Cetakan : I, Mei 2014Penerbit : Garudhawaca, Yogyakarta.Tebal : 122 halaman (83 puisi)ISBN : 978-602-7949-29-4Desain sampul dan lay out : Jalu SentanuBeberapa pilihan puisi *Bagus Burham* dalam "Monolog Angin"*Di Makam Sosrokartono*cahaya-cahaya menerobos tirai-tirai bambudan kita menemukan jam serupa daun-daungugur melintasi tanah keheninganbacalah wahai waktu, pohon-pohon menjatuhkantangan mereka yang telah kering seperti engkaumelepaskan detikmu tanpa percuma kepadanyamisalkan kita berjalan di ruang kolonial, maukah kauatau aku, atau mungkin kita, membawa diri untukmemenangkan pertarungan lewat darah dan tinta?meski cinta pada akhirnya cuma diingat lewat namakita berbaring untuk sekian masa menunggu hari akhirzikir malam pecah seperti biji tasbih yang terlemparsebuah alif besar menjalari hidup yang bersihdi bawah pohon teduh dan puluhan lainnyaberkumpul menaungkan tubuh ke tanah pembaringansang mandor terbenam dalam kedamaianbacalah hingga akhir waktu, meski nama telah dialpakanseusai cahaya-cahaya hanya dapat menampung doamelarungnya ke langit tujuh lapisan yang jauh
*Michael Buble Jam 11 Pagi*kudatangkan ia. dari jauh musik borjuaatau di bawah akar blues merdekakudatangkan tanpa sesiapa buat berbagisebab kesepian adalah diri penyairsetelah ini, setelah musik bermusim sunyikularung apa yang kudengar darinyabernyanyi, irama orang-orang parlenteyang berjalan dan memandang angkuhtapi kudatangkan ia, pada gubuk semestayang diinjak berkali-kali angin-angin tinggidi gendang telinga, di hidup kesekian kalipagimu,tuhan. pagi kita semua. suara-suarabetah tertawa seperti bocah yang kedapatanasyik mengeja kenangan angkasa layang-layangaku orang dari satu-satunya bocah tanpa suarayang ingin menyimpanmu lama-lamakudatangkan kalian, maujud dalam suaramusikmu musiknya kita telah jadi samatapi kamu dan aku selalu sendirian, tuhandi langit dan di bumi yang kutiduri*Blues*maka, kembalilah lidah dari diam ke bahasaperbincangan antara teh dan kopi robustadi luar hujan tak surut meleleh di atas tanahdisini kata-kata tersambung menjadi kalimahtak sampai selesai, terpotong suara desis gerimistak berunjung noktah, tertumpuk suara hibukorang-orang yang mencari kehangatan musimsaksopon mengalun merdu, serupa adagiolangkah kaki dari yang basah, masuk tanpa permisimenelusuri meja dan memesan segelas kopikau tangkap perbincangan, meruncing ke intikemari, kita terus mengurai pecahan tanyadari mulai basa basi hingga serius yang berartipercakapan yang memakan bibir dan hatikau, tak mengerti betul. tentang lidah yang tumpulmenghadapi dingin musim di luar kafesemestinya, tempias kecil yang berlelehan di kacatelah membangunkan deras diri hujantiang lampu sepi sendiri bergerimis hujandan payung yang kau sandarkan di pojok kafetetap menguncup, meski hujan semakin menyusupangin menyingkap musik yang berdetak lembutmengusik daun-daun, berdesik namun tak jatuhrona lampu, berteduhlah para seranggakita berdua, melompat pada rimisnya dramayang mungkin tetap tak berarti apa-apakau masih betah, kan di sini? detik tetap hujanakan tumbuh banyak luka di kayu lapuksekelompok laron di pendar lampu yang menumpukkuli dan penyair selau samamereka letih. mencoba mengartikansemua tanda. tetapi penyairlah yang lebih deritahujan tak ingin berhentikali ini, ada yang coba ia katakankepada bumi, sebelum ia masuk ke tanahmenginginkan sesuatu dari sini, tapi masih semu*Doa*bulan pucatlangit berkabutdatanglah padakumalam ini, tuhanaku ingin berceritagembira ada padamata yang cahayaada pada merekayang alpa dirimuada pada selain akutapi, bulan pucatlangit mengabutkubiar anginmenghantam dadaketika hidupada pada luka*Serenada*entah kapan kumenemukan cahaya bulanbintang-bintang nampak, langit mendunglolong anjing lapar menggarit telingamenelusuri garis malam burung sunyibersahut di lindap pohon, daun-daun kapukgugur, angin selatan berkibar menggesekientah kapan aku menemui lagi rembulanbintang-bintang tampak di dalam kelamkesepian membakar hidup yang merdekawajahmu selalu menertawakankuuntuk setiap kebodohan yang kubelahdalam tajam tumpul kata-katakuentah kapan, kapan datang waktuyang benar-benar menggusurmuseperti ingsut pasir sebab anginmengubur bangkai camardi tepi pantai*Diwan Sajak 2*anggur malam menggantung di langitudara magribi, burung-burung kembalipada pulang, pada hasrat mengeramsayup kemelut azan menghasut anginsuara-suara tanpa wajah dalam celahtuhan, kesyahduan ini adalah nikmatkudalam dosa ada juga di sana nikmattapi ini tak seperti salah, inilah itu;yang dicari-cari sehabis petang baratkuda-kuda isya dalam benteng troyaterbang membawa puja-puji namamubayi-bayi telah ditidurkan rembulandalam karpet layang aladin yang baikkisah seribu satu malam diceritakansebagai kesaksian dari langit,mungkin satu malaikat mengintip kamibermain-main dosa di kegelapanlangit lagi berkata, selalu jendelamenghadap miringnya padakudan sekalian malam, membagi cahaya,manusia kanak mendongak ke akumengharap ada bintang berlayar.lalu gerimis membisik padatanahpelan tapi mengersik dalam udaramenyerbuk basah di angkasa,rizki telah tumpah darimu*Gadis Jepara*siapa yang berjalan di antara malamyang berganti cepat dengan fajarorang-orang kartini punya semacam senyumyang bisa kamu simpan berabad-abadyang bergemuruh jika mendengarlain-lain bicara tentang kehidupandemikian pantai mengusik kita. supayamencelupkan kaki, bergembira selamanyaaku sadar mereka adalah kamu yang pahambagaimana menaklukkan gelombang di dadaketika mata bertemu matagemetar dan degup sekadarnyabisa dinamakan cintarembulan langit kotamu senantiasamengingatkan kepada kami harus kembalisebelum malam jadi sumengit dan hanyutdalam eros. dalam kutuk sebagaimana chairiltelah sangat tersiksajejak-jejak hapus buih ombak pantaimuberpulang kepada waktu di lepas samudrapara pecinta merindukandi lepas soremenginap dalam naungan suara gelombangagar tiap kali mengusung tandu kepedihansebab patah hati seperti mendung menggaritmatahari bulan juli. hujan berjatuhan bagai jarummenusuk kalbu kami. kami bisa bersiapmenjatuhkan jisim cinta dalam tandu itumata kami jatuh menelusup dirimusebelum kamu sadar, sebagai nasibyang mesti dipertaruhkan karena inginmengejar sesuatu yang tak bisa kami dapatkankamilah adam-adam yang menghujat tiapdinding malam dan berteriak-teriak kegirangankerena kesepian menjadi sajak yang bisakami hidupkan di dadamu*Sajak Cinta*ladang meniupkan angindari balik awan-awandi situ, hujan tangismembasahi segala hijaupintu-pintu terbuka itupaham mengamalkan kepulangania yang kamu panggilmajnun yang sedihkarena menunggumuia tak bisa mendengar apapunselain suara-suarayang kamu gemakandi lengkung pelangisehabis riuh hujantersandung pucuk rumputmelebur airmatanya*Memorabilia*aku selalu senang menyimak hujanyang berjalan atas kemauannya menuruni gentengmengeluarkan bunyi tempo yang teraturpada cekungan-cekungan tanpa penutupseperti tik tok memainkan detik-detiknyadi luar, daun-daun, rintik riangmembasahi tanah dari lintasan tubir terjatuhnyamerambati dindingmu menjadi dinginkau akan mengambil selimut yang disisakan kenanganmasa kecil: mendengarkan dongeng yang dinaungi hujan dari mulutibudan sebuah kecupan pengantar mimpigemuruh dan kita terbangundari jendela, diketuk tempias-tempiasnyamereka ingin membawamu basahberhujan-hujan tanpa jedaseperti kemarin-kemarinseperti usia yang lampauseperti kanak-kanak tanpa kesedihan*Pak Peno dalam Refrain*terang bulan langit masjidmelepas angin magribianak-anak bersepedamengumpulkan kenanganorang dewasa duduk-dudukdi berandajalan raya hening isya hampir tibasekarang ia datang, kembalimenjemput mereka yang inginmencicipi kebahagian sebagaisatu-satunya tiruan bulan di panciyang matang, bersukacitalahmata bocah, jernih. cahayanampak di setiap mimpi merekaberkejaran melupa duniadi langit-langit penuh lirih adzananak-anak bersarung, berjilbabsebelum shalatmerasakan bahagia meluncurke lidah merekadan ia datang, dengan sepeda ontadikayuh, selepas kumandang isyakepada kanak yang telah tumbuh, akan tumbuhmenjadi dewasa, menjelma orang tua mereka*Obituari Tanpa Kematian*jika engkau memanggul kematian, sebelum tutup mata,
bawalah rahasiaku: kata-kata dengan borok membusa
kalau-kalau, alamatmu ke dunia bawah, menemu anjing api
dan menyayatkan urat nadi untuk engkau tinggalkanmewarnai sungai dan tumbuh-tumbuhankuangkat batu-batu, beku-beku yang cadas dan berat
di lereng-lereng gunung menuju puncak terjal
bergelinding untuk kembali terangkat jari-jari bebanpulanglah sebelum petang menyalami wajah sebelah dunia
sesudah burung-burung terlalu lelah untuk terbang dan kembali
hiburlah aku, layaknya seorang perempuan memberi tuak cinta
berlama-lama menjadi tembikar yang retak, berkesudahan*Untuk Sara Bareilles*di mana kau temukan aku?ruang waktuku kotak dalam sangkarbelenggu hujan-hujan airmataorang-orang menanam sangsi padakuakulah si papa yang sesungguhnyalaron-laron pesta cahayadan jalanan menangkap gaya bicaraku: gelandangan dengan sajakdi sudut-sudut terpencil dari jamanbenarkah detik mengurai waktudan menua berkali-kali tapi abadihingga ajalku jadi sangat tak berartiaku ingin mengarunginya dengan cepatkuketuk tiap sempat aku membukapintu-pintu remaja dalam sebak rambut darabiar kunci jantungku menemu pangkaljadi mursal yang ramah kepada lukaentah, terbilang berapa, kapak-kapaktelah biasa mengoyakku; berbelah-berbagijika kau bisa mendapatikurembih garam itu telah lama tak berputus-putuskota-kota kulewati untuk terus bersembunyirumahku adalah ibu dalam ibu kandungkuyang mengeramiku dari segala keropos musimaku telah lama mengenal kesepiandan tarian lampumu, selalu menyengat bagai lebahyang hibuk mencari madu di taman bungadi mana kau bisa temukan aku?barangkali pada lagu yang kau ramu*Jelaga*hamba dari segala kesesalan: aku. inilah yang kumaksudkan:bilamana petang bersembunyi di lidah malam, burung-burungkembali memutari senjakala, kita sudah mesti bingkasdan meninggalkan masing-masing dari diri, menuju ke luaske tapal batas. angkasa yang pura-pura tak melihat kitamerangkak dengan gegas mendaki udara memenuhkan dirisebelum memecah jutaan butir kerinduan pada anginpada bentuk yang tak berbentuk. Aku aminkan hidupdari pembakaran cinta akyu dengan sulut panas apikesederhanaan mengulangkan arti cinta yang sejatibertemu dengan debu dan memadukan diri dalam-dalamkita sudah sangat tenang-tentram tak ada lagi kemasygulanpanjatkan doa hablur ini. pada musim yang selalu bergerakdan kebisuan berteriak mengetahui panjang usia hanya menitsetelah urusan-urusan yang tak terbataskan waktu singkathanyalah terus memanjat memenuhi udara dan tersapu lembutjika kematian datang tanpa perlu menyiksa, aku bersyukurmalaikat-malaikat penuh seperti pasir. hisap aku dengan cepatdan layarkan ke dunia bawah menumpang charon.tempat, yang barangkali aku bisa teduh mengikuticahaya kunang-kunang*Nocturno*bintang tak ada malam ini, kembalilah kunang-kunang,menemui semak yang remang, bertombak cahayadi relung-relung tak berterang, palung paling gulitajika malam ini, gerimis membawa semacam tanda:pura-pura rumput menari dalam kesedihan kemaraurimis gerimis, serupa undangan kereta dari rel-relyang membawa segudang musik dan sedepa partiturmeracik hujan dalam-dalam. arus menggelombangmemperbincangkan wajah gemawan yang murungcahaya-cahaya menyilang warna dalam riakberkubang, berhentilah dan berkumpul di sebuah lubangsementara orang-orang menunggumu pulang,disekap waktu yang terlalu. menghentikan ini malam*Jam Weker Realitas*di waktu-waktu yang iniorang-orang belum kembalijutaan gerimis berpindahdari langit-langit lepas pagike berahi lumpurbunyi-bunyian pinta tolongmemekakkan telingakuudara pucuk lumut tembokmendapati kamu di sebuah mimpi lemassedang menengadah ke langit keroposbertanya dalam bahasa yang tak bisa kutirubahkan masuk ke dalam. jauh lebih dalamratusan pandom meniru putaran mataridi horison jendela sorepintu yang mengangasepasang sepatu telanjur keluar luarmengejar sepasang kupu-kupudi sepasang pohon, saling berbagi udarayang diserbuk dari kejauhandi waktu-waktu yang iniorang-orang tak pernah kembalidialog angin dengan lembar-lembar daunmenyingkap musim berganti*Carla Bruni*secangkir kopi, menonton tv, menggoreng omelet
mendengar engkau bersiul. gitar menari,
sudah cukup bagiku pagi ini. perancis dingin
dalam wallpaper. seseorang mengayuh
sepeda sebegitu semangat menghadapi matahari
musim-musim menjatuhkan daun-daun jerukjemari pemetik gitar berpadu dengan wanita
bertopi gatsby. tepuk tangan menghampiri
ah, sekarang aku tahu, setiap iklan sabun itu diputar,
ada suaramu sebagai latar, detik bersebentar
bernyanyilah seperti konser kaum gitana
yang menghibur jalanan batu-batu, lesu-lesu
menjadi gembira, "le plus beau du quartier "kilau embun di esok yang buta. angin menerjang
membawa aroma daun-daun, basahan syahdu
selalu, kamu benarkan korpus suasana itu*Tentang Bagus Burham*Bagus Burham lahir di Kudus, Jawa Tengah, 31 Agustus 1992. Mahasiswa PGSD Universitas Muria Kudus. Puisinya tersebar di berbagai media massa dan antologi bersama. Kini bergiat di komunitas sastra Jenang.*Catatan Lain*Penyair menulis pengantar di bagian awal buku. Yang unik, jarang-jarang halaman persembahan ditujukan untuk eyang dan mbah seperti buku ini. Halaman persembahan ada di halaman 3, berbunyi singkat: Untuk Eyang dan Mbah Uti. Oya, nama Bagus Burham juga mengingatkansaya pada nama kecil pujangga Jawa, Ronggowarsito. Sepertinya, ia memang diinginkan dan ditakdirkan menjadi pujangga J.Oya, ternyata ada 2 versi sajak Carla Bruni, satunya, tentu saja saya temukan di internet. Tapi lupa lagi di mana sumbernya. Bunyinya kira-kira seperti ini:*Carla Bruni (versi 2)*secangkir kopi, menonton tv, menggoreng omelet
mendengar engkau bersiul dan gitar menari,
sudah cukup bagiku pagi ini. prancis yang dingin
dalam wallpaper. seseorang mengayuh
sepeda begitu semangat menghadapi matahari
musim-musim menjatuhkan dedaun jerukjemari pemetik gitar berpadu dengan wanita
bertopi gatsby. tepuk tangan desibel membanjiri
ah, sekarang aku tahu, setiap iklan sabun itu diputar,
ada suaramu sebagai latar, detik berusaha sebentar
bernyanyilah seperti konser kaum gitana
yang menghibur jalanan batu-batu, lesu-lesu
menjadi gembira, "le plus beau du quartier "segantang embun yang buta. angin menerjang
membawa aroma daun-daun,basahan syahdu
selalu, kamu benarkan korpus suasana ituM. Nahdiansyah Abdi 
di 07.11

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Puisi Berantai Antara ; Pecinta, Pejuang Dan Penjual Telur Oleh Sastra

CONTOH PUISI TENTAN KEBUDAYAAN

Aturan Penomoran Surat